Senin, 15 September 2008

Saya Cinta Negeri Ini

Dua hari yang lalu kami kedatangan tamu istimewa. Dia seorang tauladan bagi para ibu. Dengan anak yang berjumlah selusin, beliau masih sangat energik. Berkeliling untuk memberikan pencerahan tidak saja di bumi pertiwi tetapi hingga ke manca negara. Tidak hanya itu, beliau juga terlibat aktif dalam medan perjuangan parlemen, menyuarakan kepentingan Islam dan juga perempuan.

Dia adalah Ustadzah Yoyoh Yusroh. Tamu dari markas dakwah pusat. Saya pernah i'tikaf di masjid Al Hikmah bareng anak pertama beliau. Waktu itu anak pertamanya banyak bercerita tentang dirinya dan umi abinya juga adik-adiknya yang berjumlah enam orang. Tahun 1993. Kalau nggak salah dia masih SD waktu itu, tetapi dari tutur katanya kelihatan lebih dewasa dari umurnya.

Ustadzah Yoyoh, membagi pengalamannya ketika pergi ke Timur Tengah, bertemu dengan ulama besar di sana, yang ternyata sangat memperhatikan negeri Indonesia tercinta. Salah satu yang beliau (ulama tersebut) kagumi adalah mengenai UUD 1945. Terutama dalam pembukaan, kalimat "bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan" dinilai oleh ulama tersebut menjadikan UUD 145 sangat istimewa. Di negerinya sendiri beliau berharap UUD-nya bisa diamandemen agar bisa meniru apa yang dilakukan oleh indonesia.
Ustadzah Yoyoh juga bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan anggota parlemen dari Australia. Salah satu negara yang sangat kencang menyuarakan kesetaraan jender. Beliau ditanya berapa jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen di Indonesia. Dijawab 14%. Anggota parlemen Australia itu menyampaikan keheranannya. Sebab di negaranya sendiri keterwakilan perempuan di parlemen tidak lebih dari 4%. Kenapa bisa begitu, tanya orang Australia. Beliau jawab, "Karena di Indonesia mayoritas muslim. Dan Islam sangat menghargai perempuan.” Saya jadi ingat saat itu, ketika ustadz saya bercerita, suatu saat Rasulullah saw sedang terburu-buru hendak mendakwahi para pembesar Quraisy. Namun di tengah jalan ada seorang nenek menghadangnya untuk bertanya kepada Rasulullah saw. Rasul pun menjawab pertanyaan itu hingga jelas. Rasulullah tetap memperhatikan kaum perempuan, bahkan meski dia ’hanya’ seorang nenek-nenek. Inilah keagungan Islam. Tidak membedakan laki-laki maupun perempuan, tidak membedakan apakah perempuan itu cantik atau tidak. Mereka mendapat perhatian yang sama.

Ya, di Indonesia kaum perempuan mendapat tempat yang cukup luas karena negeri ini dihuni orang-orang yang memiliki toleransi yang tinggi.

Ustadzah Yoyoh Yusroh banyak bercerita tentang apa yang beliau alami sebagai seorang aktifis perempuan. Beliau selalu berkeinginan memberdayakan kaum perempuan bukan memperdayakan mereka.

Menyimak ceritanya tentang pengalamannya, saya jadi berpikiran bahwa inilah nasionalis yang sesungguhnya. Bekerja dan berbuat tanpa memikirkan apa yang akan ia dapatkan dari negeri ini. Saya juga teringat ustadz saya dulu pernah menceritakan: Presiden Sukarno dengan lantang mengatakan bahwa karena kesuburan tanah dan kekayaan yang di miliki bangsa Indonesia, maka tidak akan dibiarkan penjajah menguasai bumi ini. Seorang ulama menanggapi bahwa meski Indonesia kering kerontang tidak memberikan hasil apa-apa, maka akan kami bela sampai tetes darah terakhir.

Saya berfikir, tidak semestinya antara nasionalis dan Islam itu di tempatkan berhadap-hadapan. Keduanya mestinya disandingkan. Karena sejatinya Islam tidak pernah bertentangan dengan nasionalis. Tidak ada permusuhan antara Islam dan Nasionalis. Kelahiran UUD 1945 yang sangat dikagumi oleh seorang ulama di Timur Tengah adalah salah satu bukti bahwa Islam dan Nasionalis tidak perlu dipertentangkan.

Terima kasih ustadzah atas kunjungan Anda. Kedatanganmu sangat berarti bagi kami, meski kami tahu engkau sangat sibuk dengan tugas-tugas dakwah di masyarakat dan di parlemen serta masih harus mengurus suami dan dua berlas orang anak, tapi kami tetap mengharap kehadiranmu di lain waktu.

Wallahu a’lam.

Jumat, 12 September 2008

Berbuat Baik Itu Menyenangkan

Kejadian ini memang sudah sangat lama, tapi bagi saya ini adalah salah satu pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Kala itu, tahun 1992, sehabis mengikuti UMPTN di ITB, saya melanjutkan perjalanan ke Jakarta, mencari peruntungan mengikuti seleksi masuk STAN Prodip Keuangan Jakarta. Pada waktu berada di terminal bis Pulo Gadung, ada seorang anak kecil, yah kira-kira umurnya sepuluh atau sebelasan tahun-lah, sedang menangis tersedu-sedu. Tidak ada yang mendekati, menegur atau menolongnya. Saya, sebagai orang kampung yang baru kali kedua saat itu menginjakkan kaki di Jakarta, mendekati dan menanyakan kenapa dan sebagainya. Akhirnya saya tahu bahwa anak tersebut menangisi hasil jerih payahnya berjualan berbagai macam makanan, minuman dan sejenisnya (asongan) yang dibawa kabur sesama pengadu nasib di Jakarta, orang yang lebih besar.

Uang tiga puluh ribu hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan hilang. Kata dia, sedianya mau dibawa pulang. Dia menangis karena uang hilang dan tidak bisa pulang kampung. Di kantongnya sudah tidak ada uang sama sekali. Saya tanya pulangnya ke mana? Dia menyebut sebuah daerah di Jawa Barat (saya lupa nama daerahnya).
Hati saya trenyuh. Tidak tega membiarkan anak kecil ini menangis. Saya tidak tahu ongkos naik kereta api dari Jakarta sampai ke rumahnya pada waktu itu. Yang saya tahu kalau saya, dari Magelang, Jawa Tengah ke Jakarta naik bis ekonomi empat ribu lima ratus rupiah.

Saya teringat nasihat guru Agama di SMA saya dulu, SMAN 1 Purworejo. Bapak Umar Ma’ruf namanya, memberikan nasihat agar berbuat baik kepada siapa saja, insya Allah doanya akan dikabulkan oleh Allah.

Saya ambil uang lima ribu rupiah, saya serahkan seraya memberi nasihat agar diam dan berhati-hati. Saya doakan semoga selamat sampai rumahnya. Saya tidak tahu namanya dia siapa, saya juga tidak memperkenalkan diri. Saya pikir tidak begitu diperluka. Saya juga bukan anak orang kaya. Diberi bekal oleh bapak saya untuk mendaftar di ITB Bandung dan STAN Jakarta. Ini adalah panggilan Allah. Pikir saya pada waktu itu. Biarlah, toh nanti saya bisa menemui kakak saya yang ada di Sukapura, Jakarta Utara.

Saya pun melanjutkan perjalanan menuju Sukapura naik Metro Mini jurusan Tanjung Priuk.

Hari-hari selanjutnya saya sibuk mengurusi pendaftaran di STAN yang kampusnya ada di Jurangmangu. Untuk sementara pertemuan dengan anak yang malang itu pun terlupakan. Hingga hari yang ditunggu tiba. Pengumuman UMPTN, saya lulus untuk pilihan kedua, Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang, juga lulus seleksi untuk STAN Prodip Keuangan Spesialisasi Anggaran. Hari-hari selanjutnya saya kuliah, rupanya balasan kebaikan dari Allah itu datangnya begitu cepat.

Pertama, lulusnya saya di dua tempat adalah karunia-Nya. Kedua, saya dipertemukan dengan senior saya yang sangat perhatian, dicarikan rumah kontrakan dan juga guru ngaji. Saya pun ikut mentoring. Menikuti program mentoring, bagi saya, adalah sebuah nikmat, karunia sangat agung dari Allah SWT. Sepekan sekali saya mengaji, meski sembunyi-sembuyi pada waktu itu. Takut ada intel kata mentorku. Saya ikut mengaji dengan sangat senang hati.

Satu tahun kuliah saya lalui, di tingkat dua saya terpilih menjadi ketua kelas. Setiap ada tugas dari dosen untuk memfotokopi diktat bahan kuliah, saya sendiri yang memfotokopi untuk delapan puluh orang. Saya fotokopi di Mampang, Jl. Tendean yang mau ke arah Ma’had Al Hikmah, kampus kedua saya. Cari yang murah. Saya bawa sendiri dan saya bagikan sendiri, saya juga tidak mengambil selisih harga. Semua saya niatkan untuk beribadah. Umar bin khattab, khalifah kedua, juga memanggul sendiri gandum untuk diberikan kepada rakyatnya.

Pada waktu pelaksanaan mentoring untuk adik-adik kelas saya ikut membantu menjadi mentor, meski tidak terdaftar. Jadi tidak dapat ’honor’ mengajar dari panitia. Tetapi alangkah kagetnya (dan juga senangnya) saya pada waktu mau muraja’ah (setoran hafalan) di lembaga tahfidz Al Qur’an Al Hikmah Bangka II, Jakarta Selatan, ada seseorang mendekati saya dan menyerahkan bungkusan. Katanya, ini tanda terima kasih dari panitia mentoring (namanya waktu itu KD2I, Kajian Dasar-dasar Islam). Padahal rentang waktu antara pelaksanaan mentoring dan hari itu hampir satu tahun. Saya sendiri sudah lupa. Ketika saya buka ternyata isinya selembar kaos ospek dan uang sebesar dua puluh ribu rupiah. Saya jadi teringat firman Allah yang mengatakan, dan akan diberikan rizki yang tidak disangka-sangka.

Saya juga senang saja ketika diminta untuk membimbing satu kelompok adik-adik kelas di kampus, juga anak-anak es em a di Ujung Aspal, Pondok Gede, Bekasi dan anak-anak es em pe di Pancoran.

Pokoknya untuk kebaikan saya senang melakukannya. Rupanya karunia dari Allah itu datang kembali. Setelah saya menikah yang langsung dilanjutkan ’berbulan madu’ ke Kota Palu melaksanakan surat penempatan saya dari kantor pusat Ditjen Anggaran, Allah menunjukkan kemurahannya kepada saya. Sampai di Palu saya disambut senior saya yang saya tidak mengenal sebelumnya. Kebetulan juga beliau mau pindah ke Batam, jadi perkakas rumah tangganya diberikan kepada saya.

”Ini adalah rizki yang tidak di sangka-sangka yang diberikan Allah kepada saya,” pikir saya.

Rupanya Allah itu tidak pernah bosan memberikan kasih sayangnya kepada hamba-hamba-Nya. Ini saya rasakan ketika saya mengantar istri yang akan melahirkan di Jakarta. Selama di kapal dalam perjalanan Pantoloan (Palu) sampai pelabuhan Ujung Pandang, saya mendapat teman ngobrol. Kami sangat akrab, dia saya ajak untuk menikmati perbekalan kami. Kami naik kapal kelas ekonomi. Sampai di Ujung Pandang tidak ada sesuatu yang mecurigakan. Selepas pelabuhan dan melanjutkan ke Surabaya, ada sesuatu yang hilang. Istri saya membuka tas tempat menaruha uang tujuh ratus ribu, ternyata empat ratus ribuan hilang beserta cinci mahar nikah istri saya. Istri saya menangis, kami tidak terpikirkan bagaimana untuk ongkos melahirkan dan kembali lagi ke Palu. Tapi yah, apa boleh buat. Sudah hilang. Kita berusaha tabah dan mengikhlaskannya.

Kemurahan Allah datang lagi, pada waktu melahirkan, tidak keluar uang banyak. Hanya membayar tiga puluh ribu rupiah, istri saya melahirkan di puskesmas.

Dan rasa-rasanya kemurahan Allah itu datang hingga sekarang. Semoga saja tidak akan pernah putus.

Dan ternyata ... berbuat baik itu menyenangkan. Sangat menyenangkan.

Wallahu a’lam.

Kamis, 11 September 2008

Bukan Karena Kasihan

Beberapa waktu yang lalu saya dan istri saya pergi ke sebuah toko elektronik. Beberapa saat lamanya kami di dalam toko itu. Setelah selesai kamipun keluar. Seperti biasa di tempat parkir sudah ada tukang parkir yang menyambut kami. Saya ulurkan tangan saya memberinya uang lima ribuan. Si tukang parkir meminta uang pas, baru datang ini pak, katanya. Kebetulan juga kami tidak ada uang seribuan atau lima ratusan. Si tukang parkirpun menyerah. Dia tidak mau dibayar. Jadilah kami pulang, tanpa membayar uang parkir motor kami.
Sesampai di rumah istri berkata kepada saya, "Bi, kenapa ya kita tidak menyerahkan uang lima ribu itu kepada tukang parkir tadi. Itu kan namanya kita egois, hanya memikirkan diri sendiri. kan mestinya kitalah yang 'menyantuni' orang itu, bukan kita yang 'disantuni'. Dengan kita tidak membayar uang parkir kepada bapak tadi, berarti kita disantuni olehnya. Padahal kita lebih beruntung dari dia dalam hal penghasilan." Istri saya kelihatan menyesal sekali.
Kami berdua termenung memikirkan kejadian tadi. Biasanya kami kalau membeli sesuatu di warung-warung kecil atau pedagang-pedagang sangat kecil, kalau tidak ada kembalian, lima ratus atau seribu, kami selama ini sepakat untuk merelakannya. Atau bahkan setiap naik becak, atau ojek selalu kami membayarannya melebihi dari kesepakatan harga.
Tapi ini kasus baru. Tukang parkir. Padahal semestinya mereka mendapatkan perlakuan sama. Memang terkadang ada oknum-oknum tukang parkir yang berbuat jahat, tapi itu hanya oknum. Tidak semua tukang parkir seperti itu. Mereka bekerja membawa harapan. Ada sesuatu yang bisa dibawa pulang untuk istri dan anak-anaknya, yang mungkin sebelum ayahnya berangkat sudah ada janji terhadap anak-anaknya bahwa sepulangnya nanti akan dibelikan oleh-oleh.
Saya jadi teringat kisah tentang seorang pelacur yang dinyatakan masuk surga oleh hadist Nabi karena kepeduliannya terhadap seekor anjing yang kehausan. Peduli itu kepada siapa saja. Tidak perlu memilih-milih orang. Siapa saja yang membutuhkan, kepadanyalah kita mestinya kita berikan kepedulian itu. Di mana saja mereka berada. Entah meminta atau tidak.
Banyak diantara kita yang mempunyai kelonggaran rizki dari Allah, lebih memilih untuk membelanjakannya meski yang dibeli bukan sesuatu yang sangat dibutuhkan. Memang, itu sah-sah saja dilakukan, uang-uangnya sendiri. Tetapi rasa kemanusiaan kita mestinya bisa lebih terasah. akan banyak manfaat bagi orang lain uang sebesar seribu atau dua ribu yang bisa jadi tidak bermanfaat bagi pemiliknya. Dan, agar harta itu tidak hanya berputar pada orang-orang kaya saja.
Setiap kali saya lewat perempatan lampu merah selalu saya lihat tukang korang cacat sedang menawarkan korannya. Saya sengaja membelinya. Bukan karena sekedar kasihan tapi lebih dari itu. Usahanya yang maksimal wajib kita berikan apresiasi. Dan ini adalah ibadah kepada Allah.
Wallahu a'lam.

Rindu Kita Pada Kepedulian

Seorang teman bercerita, ada seorang ayah yang sangat sayang terhadap anak bayinya, selepas sholat Isya pergi mencari susu formula buat buah hatinya. Pada waktu itu negeri ini tengah dilanda krisis hebat. Salah satu barang yang hilang dari peredaran adalah susu formula untuk bayi. Lama dia berkeliling mencari barang langka tersebut. Di deretan produk bayi tidak nampak lagi barang yang dicari. Belasan toko besar kecil sudah dia masuki namun hasilnya tetapa sama. Kosong. Kekhawatiran mulai menjalar ke relung hatinya. Terbayang si kecil sedang menangis meminta susu. Kelopak matanya mulai menghangat. Dilihatnya jam melingkar di tangan kanannya. Sudah malam, bisiknya kepada dirinya sendiri. Toko-toko kecil sudah mulai pada tutup. Dijalankan motornya perlahan-lahan sambil kepalanya tengok kanan tengok kiri. Siapa tahu ada toko yang masih buka dan ada barang yang dicarinya. Yap! Masih ada toko swalayan mini yang masih buka. Pengunjung sepi. Hanya ada satu orang yang tengah melakukan pembayaran di kasir. Dia masuk ke toko tersebut. Kakinya langsung membawanya ke deretan produk makanan bayi. Alhamdulillah. Ada! Hatinya sangat gembira. Masih ada dua bungkus susu formula ukuran 400 gram. tanpa pikir panjang, dia ambil dua-duanya. Biar cukup untuk persediaan manunggu keadaan kembali normal. Kalau tidak diambil dua-duanya, pasti nanti akan sulit lagi mencarinya. Gumamnya dalam hati.
Dengan hati yang senang, dipacunya kendaraan menuju rumah. Ingin segera dia tunjukkan bahwa dia adalah seorang ayah yang baik.
Sesampai di rumah dia ceritakan usaha pencarian susu formula yang dia dapatkan dengan sangat susah payah tersebut.
"Bang, di toko tadi masih ada berapa bungkus bang?" tanya istrinya beberapa saat setelah sang suami selesai menceritakan pengalamannya.
"Sudah tidak ada lagi dik, tinggal dua ini saja. makanya abang ambil semuanya," sang suami bicara penuh bangga.
"Astaghfirullahal 'adziim," istrinya tertunduk. Matanya sedikit basah oleh air mata yang tak tertahankan.
"Kenapa dik, itu kan rejeki kita, rejeki anak kita dik." Suaminya sedikit heran.
"Bank," lirih suara istrinya. Dia dekatkan posisi duduknya kepada tempat duduk suaminya. "Seandainya abang hanya mengambil satu saja, pasti ada satu orang bayi lagi malam ini bisa minum susu. Bisa jadi di belakang abang ada seorang ayah yang baik lainnya seperti abang yang tengah mencari susu untuk anaknya. Tapi karena abang sudah mengambil dua-duanya, maka ayah yang malang itu pulang dengan tangan hampa. Bayinya pun malam ini tidak minum susu. Pasti kasihan sekali dia bang."
"Astaghfirullah..." sang suami termenung. Ada guratan penyesalan di wajahnya.
"Terus bagaimana dik?" lanjutnya bingung.
"Coba kita kembalikan saja ke toko tadi bang."
"Tidak mungkin. Sudah tutup, tadi saja pelayannya sudah bersiap-siap menutup pintu. sekarang pasti sudah tutup."
"Yah... malam ini kita harus memperbanyak istighfar bang sebelum tidur kita. Karena kita telah kehilangan rasa kepedulian kita di saat-saat kritis seperti sekarang ini..."
...
Saya tertegun mendengar cerita itu. Yah..., dunia yang semakin sempit telah mengikis sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Perlahan namun pasti, kepedulian itu kian sirna. Lihat saja di jalan-jalan raya. Para pengendara saling berebut untuk mengambil jalan terlebih dahulu. Tidak peduli keselamatan pengendara orang lain.
Orang sepertinya tidak rela kehilangan waktunya beberapa detik untuk sekedar memberi kesempatan seorang nenek renta untuk menyeberang jalan. Jangankan memberi kesempatan orang lain memotong jalannya untuk menyeberang, lampu merah saja dengan sengaja banyak yang dilanggar.
Keadaan memang lagi sulit, tetapi tidak sepantasnya kita tidak peduli terhadap nasib orang lain. Untuk membangun kembali negeri ini, diperlukan orang-orang yang peduli kepada orang lain. Peduli kepada sesama, yang itu adalah sifat dasar manusia. Manusia adalah makhluk sosial. Homo homini lupus. kata seorang pakar.
Wallahu a'lam.

Rabu, 10 September 2008

salam

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ibuku berpetuah: dalam semua keadaan kita harus selalu bersyukur.
Sebab kita tidak tahu apa lagi yang akan kita dapati. Yang kita tahu adalah bahwa Gusti Allah tidak pernah bermaksud buruk terhadap hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Apa yang kalian dapat adalah karunia Gusti Allah, sekecil apapun karunia itu, kita anggap sesuatu yang besar. Syukur kita itu harus kita tunjukkan dengan kemauan kita untuk berkorban entah waktu, tenaga, kesenangan, harta atau bahkan nyawa untuk Gusti Allah, Rabb Pencipta dan penjamin hidup kita. Nah, pengorbanan itu, sebesar apapun menurut perasaan kita, harus kita anggap kecil di hadapan Gusti Allah. Sebab kita adalah seorang hamba. Tidak bisa hidup tanpa belas kasih sayang-Nya.
Mengenai idola, Bapak-ku memberi nasihat: Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini yang pantas untuk diikuti dan ditiru segala perkataan dan tingkah lakunya. Kacuali seorang yang berhati lembut, tidak pernah membedakan status sosial dan warna kulit dalam pergaulannya, tidak pernah berkhianat, kepada musuh sekalipun, tidak ada cela dalam akhlaknya, tidak ada orang yang pernah tersakiti oleh lisannya selama hidupnya, seorang pemimpin sejati, merasakan lapar seperti orang-orang yang dipimpinnya ketika mereka lapar, orang yang terakhir kenyang diantara orang-orang yang dia pimpin. Tidak pernah berlama-lama menahan harta yang mampir kepadanya, dia selalau bersegera membagi-bagikan kepada orang lain yang membutuhkan. Dialah Nabi Muhammad saw, manusia paling mulia sepanjang zaman. Allah dan para malaikat bershalawat kepadanya. Maka tidak ada alasan untuk kita tidak selalu melantunkan shalawat kepada beliau dari hati yang paling dalam.
Kakak saya menambahkan: Kita juga harus meneladani orang-orang yang hidupnya dipenuhi dengan cinta kepada Rasul. Cinta kepada risalah yang ditinggal Kanjeng Nabi. Yang cinta itu duwujudkan dalam perilaku keseharian sesuai tuntunan dan petunjuk yang beliau wariskan yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Saya sendiri meyakini: Bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan. Pasti ada ujung dari perjalanan ini. Dan dalam perjalanan pasti membutuhkan perbekalan. Bekal yang cukup atau bahkan berlebih, maka nikmat ketika sudah sampai di tempat tujuan pastilah akan dirasakan. Nah ujung perjalanan kita adalah bertemu dengan Gusti Allah. Setelah bertemu kita akan menunjukkan bekal perjalanan kita masing-masing. Bekal yang baik pasti akan mendatangkan kasih sayang Gusti Allah, sebagai tujuan akhir perjalanan hidup kita. Tapi kalau bekal itu tidak ada atau bekal yang dibawa itu tidak baik, maka Allah pasti akan murka. Dan kemurkaan, dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak pernah berakibat manis. Kemurkaan selalu menghadirkan sengsara. Dan kemurkaan Allah saat itu akan dirasakan dalam masa yang sangat panjang, bahkan bisa jadi selamanya. Bekal yang baik adalah TAQWA. Menuruti apa yang dikehendaki oleh Allah. Yang diperintahkan kita jalankan, yang dilarang kita jauhi. Apa yang dicontohkan oleh Kanjeng Nabi kita amalkan, yang dilarang dan tidak dicontohkan kita tinggalkan.
Adik saya bertanya: Terus apakah kita tidak boleh bersenang-senang di dunia ini. Sungguh kasihan dong manusia kalau begitu.
Saya menasihati adik saya: Kesenangan itu adalah perasaan. Tidak ada sangkut pautnya dengan ada tidaknya harta pada diri kita. Tidak juga hadir dari sebuah kebebasan mengikuti hawa nafsu kita. Banyak orang yang tak berharta, tetapi mereka bahagia sepanjang hidupnya, hari-harinya selalu dihiasi dengan senyum merekah yang menyejukkan bagi siapa saja yang melihatnya. Kanjeng Nabi pun juga tidak meninggalkan sesuatu barang yang berharga ketika beliau wafat. Tetapi dalam hidup beliau selalu bahagia. Tidak bersedih karena ketiadaan harta benda. Beliau sedih jika melihat umat dalam ancaman api neraka.
Kebebasan juga bukan sumber kebahagiaan. Mengikuti aturan adalah sumber ketenangan, dan ketenangan hati itulah yang akan melahirkan kebahagiaan.
Jadi taat mengikuti aturan baik perintah maupun larangan Gusti Allah akan melahirkan kesenangan dan kebahagiaan. tergantung perasaan kita. Kalau kita rasa-rasakan berat, ya kita akan tersiksa. Tetapi kalau kita rasa-rasakan ringan dan menyenangkan, ya kita akan senang dengan setiap perintah dan larangan Gusti Allah yang berlaku pada kita.
Para Pembaca yang saya hormati. Melalui tulisan perdana ini saya ingin berkenalan dengan Anda sekalian. Semoga bisa menambah banyak teman untuk berbagi cinta dan kebaikan untuk kita petik manfaatnya di ujung perjalanan kita.
Salam Kenal. Bambang Kismanto alias Muhammad Ibadurrahman alias Muhammad Ibadinoor.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh