Kamis, 02 April 2009

Duhh...Bundaku, Air Matamu Mengalir Lagi..

Untuk yang kesekian kalinya hati saya menjerit kepada Allah. Bertanya seraya menghiba.. Oh.. Allah... belum cukupkah ya Allah, belum cukupkah ya Allah.. kasihani bundaku.

Linangan air mata tak bisa saya bendung. Hati saya miris, ratusan bahkan mungkin ribuan kali cobaan demi cobaan terus menerpa bundaku. Air mata nyaris kering karena kepedihan yang mendalam. Dan hari ini adalah hari ke delapan bundaku menderita. Situ Gintung telah menorehkan luka di hati bundaku dengan sangat dalam. Belum selesai proses evakuasi di sana, di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat ikut menorhkan luka.

Ya Indonesia adalah Bundaku tercinta. Dialah ibu pertiwiku. Tanah tumpah darahku. Jini menjadi negeri seribu satu bencana.
Sebagai seorang hamba, saya melihat ada yang salah di negeri ini. Dan kesalahan itu dilakukan oleh hampir semua lapisan penghuninya. Dari rakyat jelata hingga yang bertahta. Dari lapisan bawah hingga orang-orang berkehidupan mewah. Maksiyat secara transparan dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Baik sendirian dan tersembunyi (bisa jadi) maupun bersama-sama dan terang-terangan. Sepertinya tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbaikinya. Padahal bencana demi bencana itu adalah peringatan, sinyal agar kita sadar hingga kita berhenti secara bersama-sama dalam melakukan kerusakan.

Sinyal-sinyal itu telah Allah kirim kepda bumi pertiwi setidaknya sejak tahun 1997. Saat itu musim kemarau melanda nusantara, hampir sepanjang tahun. Hasilnya.. kebakaran hutan di mana-mana dari Pulau Sumatera sampai Pulau Irian Jaya. Musibah selanjutnya bisa ditebak, kabut asap di mana-mana yang berakibat kecelakan besar beruntun baik di darat yang tak terhitung jumlahnya hingga laut dan udara. Dimulai dari jatuhnya pesawat boing 737 di Sibolangit, Sumatera Utara, dengan 400-an penumpang tewas, pesawat milik TNI terpelanting di Ambon, terus kandasnya Kapal Motor.

Musibah tidak berhenti, tetapi bangsa ini juga tidak segera menyadari. Maka Allah kirimkan sinyal-Nya kembali. Penyakit demam berdarah yang merenggut ribuan orang di seluruh nusantara. Puncaknya adalah rentetan kerusuhan teramat dahsyat yg melanda ibukota yang didului oleh kolaps-nya perekonomian bangsa ini.

Mestinya sampai di situ sudah cukup. Kita mesti segera sadar. Bahwa itu pertanda Tuhan sudah tidak berkenan dengan perilaku kita selama ini. Kita mestinya 'bosan' mendengarkan lagu Ebiet G Ade diputar terus. Kita ingin lagu-lagu ceria, lagu-lagu penuh optimisme berkumandang di negeri ini. Mestinya kita menyadari bahwa ternyata kerusakan telah terjadi di sekeliling kita dan dilakukan oleh hampir siapa saja di antara kita.
Setiap bencana besar pasti menyisakan kepiluan. Setiap Musibah yang dahsyat pasti menyayat hati bukan saja yang menjadi korban secara langsung, tetapi juga kepada kita.

Bencana tsunami Aceh adalah rentetan kepiluan yang selanjutnya sebelum diikuti oleh gempa bumi hebat di Jogjakarta serta 'batuk'nya gunung Merapi di Jawa Tengah.

Adakah perubahan kearah yang lebih baik terjadi pada bangsa ini? Kita sangat prihatin dengan semakin semaraknya bentuk kerusakan. Baik kerusakan fisik bumi maupun kerusakan kepribadian penghuninya. Tengok saja, pencuri jaman sekarang bukan hanya dilakukan dengan mencungkil pintu dengan linggis oleh orang tidak berpendidikan nan berbaju lusuh. Tetapi juga (bahkan didominasi) oleh orang-orang berpendidikan tinggi, punya jabatan juga tinggi dan berlomba-lomba membangun rumah berpagar tinggi. Lihat juga pergaulan anak-anak mudanya. Lihat juga birokrasinya. Amati juga para penegak hukumnya. Para wakil rakyatnya. Sempurna. 'Wajar' kalau Allah meminta 'sedikit perhatian' kita. 'Wajar' jika Allah kemudian memberikan pertanda akan kemarahan-Nya.

Situ Gintung dan Banjir Bandang di Kabupaten tanah datar, Sumatera Barat harus menjadi musibah terakhir bagi bangsa ini. Situ Gintung dan Tanah Datar harus menjadi penyebab terakhir mengalirnya air mata bumi pertiwi. Biarlah berlalu. Semoga yang menjadi korban ditempatkan di sisi Allah di tempat yang mulia. Keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kesabaran serta keluasan rizki dari-Nya.

Ebiet G Ade melalui lagunya menasihati kita. Agar kita melihat kepada diri kita sendiri. Untuk membersihkan hati dan pikiran kita. Agar kita bisa bertindak benar. Agar Bunda kita kembali bisa tersenyum, melihat anak-anaknya hidup bahagia.

Kita mesti telanjang
dan benar-benar bersih
suci lahir dan di dalam batin
tengoklah ke dalam
sebelum bicara
singkirkan debu yang masih melekat
singkirkan debu yang masih melekat
...
Wallahu a'lam bishshowab..