Senin, 22 Maret 2010

Kulihat ketulusan di matanya...

Siang itu (Sabtu, 20 Maret 2010) aku berkumpul dengan teman-teman mau pergi ke lapangan Monumen Nasional (Monas). Ada pesan untuk ikut acara munashoroh (aksi kepedulian dan penggalangan dana) untuk bangsa Palestina. Beberapa orang berkumpul menunggu bis yang sudah disiapkan. Sambil menunggu, satu persatu aku tatap wajah-wajah mereka. Entah apa sebabnya, hati tergetar dan mataku basah. Buru-buru aku usap, sebab tak ingin ada yang melihat kejadian ini.

Mata-mata itu menyiratkan ketulusan. Mereka dengan antusias mengikuti setiap apa yang diminta oleh gurunya, termasuk acara munashoroh ini. Inilah prototip kawulo alit, rakyat jelata, orang kecil atau wong cilik, mereka mengikuti acara apapun baik acara sosial maupun politik tanpa memperhitungkan apa manfaatnya buatku. Mereka sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami patuh) terhadap setiap qararat (perintah) yang mampir padanya. Tidak dibayar, tidak juga diintimidasi. Mereka berangkat dengan sukarela dan senang hati. Tanpa bicara, tanpa keluhan, mereka berangkat menerjang hujan dan berhimpitan di bis Metromini yang kapasitasnya sangat terbatas.

Sesampainya di lapangan monas, hatiku lebih bergetar lagi. Teriakan Ustadzah Yoyoh Yusroh dan Ustadz Hidayat Nurwahid seperti mendidihkan darah di setiap aliran nadi. Lantunan nasyid yang diiringi drum yang menggelegar mampu menegangkan setiap otot untuk menyalurkan kekuatan yang berujung teriakan “Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar”. Di samping kanan, kiri, depan dan belakangku berjejal para kader dan simpatisan yang dengan penuh semangat menyambut setiap seruan. Aku sangat suka memandangi wajah-wajah mereka secara sembunyi-sembunyi. Aku menikmati ketulusan mereka. Dan setiap menemukan ketulusan itu, hatiku bergetar dan terasa ada air di mataku yang dengan buru-buru kuusap agar tidak ada yang mengetahuinya.

Entah kenapa, setiap melihat wajah-wajah mereka yang menyiratkan ketulusan itu, pikiranku melayang kepada peristiwa-peristiwa politik di negeri ini. Kebijakan-kebijakan politik orang-orang ‘hebat’, orang-orang ‘atas’, para pemimpin negeri ini. Pernahkah mereka melihat apa yang aku lihat dan aku rasakan ini? Meski secara ilmiah aku tidak tahu apa pengaruhnya dengan sikap pengambilan kebijakan bagi mereka, tetapi aku pikir mereka seharusnya sering-sering menatap wajah-wajah mereka, kawulo alit alias rakyat jelata. Ada ketulusan yang dapat memberikan energi luar biasa dalam mengambil sebuah keputusan.

Aku berpikir, seandainya orang-orang ’atas’ mau sejenak menengok ke bawah, menyempatkan diri di sela kesibukan yang begitu padat, tentu akan sangat bagus akibatnya untuk kedua belah pihak. Kekecewaan wong cilik terjadi karena sering kali realita di lapangan tidak sesuai yang mereka harapkan. Dan harapan mereka tidaklah tinggi. Hanya sekedar ingin melihat konsistensi ‘orang-orang atas’ yang sudah mereka percaya. Hanya itu. Mereka tidak mempermasalahkan apa yang sudah didapat oleh orang-orang pilihan tersebut. Hanya itu. Betul hanya itu. Hanya berharap bahwa mereka, orang-orang atas itu, tetap berada pada kepribadian seperti di saat merek dipilih dahulu.
Aku melihat ada ketulusan di mata mereka...jangan kecewakan mereka...

Sabtu, 13 Maret 2010

Mengukur Rasa Syukur Kita

Adalah karakter bawaan manusia yang menjadikan mereka tak pernah lepas dari rasa gundah gulana. Meski sebenarnya hal itu bisa ditangkal jika kita mau berusaha. Innal insaana khuliqa halunu’a, sesungguhnya manusia diciptakan penuh keluh kesah. Tetapi, bukan berarti itu paten, tidak bisa berubah. Bahkan sifat itu menjadi salah satu tantangan kita untuk menjadi manusia pilihan yang dimuliakan Allah jika kita dapat menundukkannya.

Keluh kesah jelas bukan sumber kebahagiaan, meski si empunya mencoba mencari ketenangan dengan itu. Mencoba mencari kesalahan pihak lain adalah cara paling mudah untuk mengutuk keadaan dirinya, dari pada harus mengoreksi diri sendiri yang sering mendatangkan rasa sakit di hati. Langkah ini dianggap dapat mendatangkan ketenangan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Falsafah orang jawa bisa dijadikan contoh untuk mendapatkan ketenangan ini. Untung. Ya, dalam keadaan apapun selalu untung. Setelah mengetahui rumahnya dirampok orang tak dikenal, si empunya rumah berucap,”Untung, istri dan anaknya selamat.” Untung, hanya harta yang diambil, bukan nyawa saya.

Rasulullah pernah berpesan kepada para sahabat, sungguh menkjubkan sifat seorang muslim. Semua keadaan selalu dipandang baik. Jika mendapat nikmat dia bersyukur, itu baik baginya, jika mendapat musibah, ia bersabar dan itu baik baginya.

Syukur dan sabar menjadi dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Bagai dua sisi mata uang yang saling menguatkan makna. Mensyukuri setiap apa yang kita dapatkan dari Allah, dengan perantara usaha kita, dapat kita lakukan dengan dukungan kesabaran terhadap kekurangan hasil atau diri yang kita hadapi. Tanpa dukungan kesabaran, yang ada adalah keluhan. Sudah merasa berbuat banyak, tetapi tidak memberikan hasil yang maksimal. Ujung-ujungnya mencari kambing hitam atau menuduh Allah tidak adil.

Ketidaktenangan hidup kita adalah akibat pikiran kita sendiri. Rasa was-was jangan-jangan ada orang yang akan berbuat jahat pada saya, atau jangan-jangan saya dikhianati oleh orang yang disayangi atau apapun pikiran-pikiran negatif. Termasuk ’tuduhan’ bahwa Tuhan tidak adil. Saya sudah berbuat banyak kebaikan tetapi kenapa justru banyak yang berbuat jahat pada saya. Begitu seringkali pikiran kita mengarahkan. Padahal benarkah demikian.

Adalah kesalahan kita sendiri manakala kita terpuruk pada kesedihan. Adalah kebodohan kita jika hidup kita hancur. Sebab, sesungguhnya, hidup kita sepenuhnya kita yang menentukan atas pertolongan dan ketetapan Allah. Bukan orang lain. Bukan orang lain yang memberi warna apakah merah, hijau, kuning, putih atau abu-abu bahkan hitam kelam. Semuanya tergantung kita sendiri.

Rasa syukur akan menjadikan kita tenang. Dan syukur yang benar adalah melihat pemberian dr Tuhan adalah suatu yang besar, meski kita seringkali menganggapnya kecil. Sekecil apapun pemberian dr Allah, harus kita lihat sebagai suatu karunia yang sangat besar. Sebab, siapapun kita, sepandai apapun, sehebat apapun, sedetikpun tidak bisa lepas dari kekuasaan Allah. Tanpa pertolongan-Nya, kita tak dapat berbuat apa-apa. Tanpa bimbingan ilmu dari Allah, kita bukan siapa-siapa.

Karunia dr Allah tidak ada kaitannya dengan pengorbanan kita, pengabdian kita, ibadah kita, atau apapun yang sudah kita persembahkan.

Pernahkah kita berpikir, mengapa Allah memberikan jaminan rizki kepada kita bahkan jaminan untuk dua tahun lamanya untuk kita, padahal kita belum berbuat apapun untuk Allah. Bahkan kita belum mengenal siapapun. Jadi sebab apa Allah memberikan rizki itu untuk kita??

Rizki atau karunia Allah untuk kita tidak ada hubungannya dengan pengabdian dan pengorbanan kita pd Allah. Yang ada adalah, bahwa kitalah yang harus menanggapi pemberian itu dengan baik. Dengan mengikuti apa yang Dia kehendaki. Itulah cara kita mensyukuri nikmat yang ada pada kita. Coba saja...