Jumat, 30 April 2010

MENCABUT AKAR KORUPSI DI DITJEN PERBENDAHARAAN

koruptorGenderang perang melawan korupsi di lingkungan Ditjen Perbendaharaan telah ditabuh. Tidak tanggung-tanggung. Genderang perang itu ditabuh oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati, saat meresmikan 18 KPPN Percontohan, 30 Juli dua tahun lalu.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa munculnya ide mendirikan KPPN Percontohan ini adalah berawal dari rasa keprihatinan adanya praktek pungli yang sangat meresahkan di KPPN-KPPN pada waktu itu. Untuk menghilangkannya, diperlukan keberanian. Upaya memotong generasi dan mengubah mindset pegawai dilakukan, apapun resiko yang akan ditanggung. Pembatasan umur pegawai yang berhak mengkuti seleksi adalah upaya memotong generasi itu. Selanjutnya, mindset pun dibentuk. Dibuatkan Standard Operating Procedure sebagai acuan kerja. Dan hasilnya, cerita pungli seperti terjadi di masa lalu, kini tidak ada lagi. Tidak terdengar lagi, bukan karena ditutup-tutupi, tetapi memang benar-benar tidak terjadi lagi.

Upaya-upaya mencabut akar korupsi di Ditjen Perbendaharaan terus berjalan tanpa henti. Setiap ada pegawai yang dipromosikan menduduki jabatan esselon baru, selalu diadakan pembekalan. Gerakan mengubah mindset para pejabat. Reformasi birokrasi itu bukan sekedar berganti baju. Tetapi mengubah mindset. Inilah cara melawan korupsi ala Dirjen Perbendaharaan, Herry Purnomo. Mencabut sampai akar-akarnya, biar tidak bisa tumbuh lagi.
Disamping itu, upaya mencegah korupsi dan terapi mental para pegawai juga dilakukan. Pada saat Dirjen Perbendaharaan mendapati kasus korupsi, suap atau sebangsanya, langsung dilakukan shock terapy bagi pegawai yang lain. Sanksi Berat telah dikeluarkan, meski pegawai yang melakukan itu bukan di KPPN Percontohan.

Kasus yang terjadi di sebuah KPPN (Non Percontohan) yang pegawainya bukan hasil seleksi, menjadi contoh. Tidak ada toleransi bagi mereka yang menerima ’amplop’. Tidak ada permakluman karena bukan KPPN Percontohan, meski sebenarnya Dirjen Perbendaharaan bisa saja beralasan mereka belum menjadi objek reformasi. Artinya, para pegawai memang belum ‘diganti’ kepalanya. Jadi kalau masih mau menerima uang tanda terima kasih adalah wajar. Tetapi, sanksi tetap dijatuhkan. Dari pelaksana hingga kepala kantornya. Tidak ada toleransi. Hati tidak bergetar yang kemudian mengajak kakinya surut ke belakang mendengar tangisan mereka yang terkena sanksi. Yang ada di benak Dirjen Perbendaharaan hanya satu suap dan korupsi, sekecil apapun, harus hilang dari Ditjen Perbendaharaan. Ini tidak main-main. Bukan upaya pencitraan di media massa, karena bukan itu sasarannya, dan memang tidak ada media massa yang meliput gerakan reformasi di Ditjen Perbendaharaan. But, beurocratic reform must go on.

Dalam setiap kesempatan, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Herry Purnomo, berpesan, ”Katakan no, ketika atasan meminta uang setoran.” Begitu juga pesan Sesditjen, K. A. Badaruddin. Pembekalan ini dilakukan agar mindset Anda-anda ini berubah. Kami pimpinan di sini, Pak Dirjen, saya dan juga pimpinan yang lain tidak ingin ada kasus pegawai Ditjen Perbendaharaan menerima amplop.

Mengomentari reformasi birokrasi di Ditjen Perbendaharaan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarwati berpesan, ”Jaga sistem yang sudah baik ini. Jangan sampai nila setitik rusak susu sebelanga.”

Jadi, adakah yang lebih serius dan masif gerakannya dalam memberantas korupsi dari ini? Masih adakah pegawai yang berani menerima atau mencari-cari amplop? Pasti akan segera dicabut, sampai ke akarnya!!

Rabu, 14 April 2010

TIDAK ADAKAH CARA YANG LEBIH ARIF?

Sungguh hatiku berdebar. Jantungku saolah tak mau berdetak. Seorang sopir taksi, menurut pandangan mata, sudah sangat tua untuk ukuran seorang pekerja. Mestinya sudah saatnya menikmati hari tua, tetapi ini masih bekerja menjadi sopir taksi. Bapak tua sedang teriak sekeras-kerasnya sambil tangannya mengepal ke arah bawah. Wajahnya mengeras, tubuhnya mengejang. Entahlah, karena marah atau justru karena takut. Seorang polisi yang lagi menginterogasi pak tua dengan berteriak-teriak, tangan menggenggam keras sambil telunjuk hampir menempel di muka pak tua.

Hatiku trenyuh. Entah mengapa aku teringat wajah kurus bapakku yang sudah lama meninggal dunia. Aku bertanya di dalam hati, tidak adakah cara lain yang lebih pantas dalam bertanya dengan orang yang lebih tua. Memang dia hanya seorang sopir. Bahkan mungkin memang dia sudah melakukan kesalahan. Dia mungkin juga sadar sedang berhadapan dengan siapa. Dia mungkin mengakui bahwa dirinya hanya seorang sopir yang sudah melakukan kesalahan dan sekarang sedang berahadapan dengan seorang polisi muda di jalan raya. Menurut perasaanku saat itu dan terbawa hingga sekarang, tindakan polisi itu tidak pantas, dilihat dari sudut manapun.

Coba seandainya semua orang yang sedang memegang kekuasaan sekecil apapun kekuasaan itu seperti polisi yang sedang menanyai sopir itu, berbicara berdasarkan perasaan yang paling dalam, mungkin tindakan itu tidak akan ada. Di sepanjang perjalanan, hatiku terus bertanya-tanya, kenapa sih harus begitu. Coba seandainya yang dihadapi itu ayahnya sendiri yang sudah renta. Atau, seandainya suatu saat nanti, ketika polisi itu sudah tua renta. Dan entah karena apa, dengan sangat terpaksa berubah profesi menjadi sopir taksi, dan kebetulan juga melakukan kesalahan dan ketangkap polisi, maukah diperlakukan seperti itu. Diteriakki sekencang-kencangnya sambil telunjuknya mengarah ke mukanya, bagaimana rasanya. Tidak adakah cara yang lebih arif dalam memecahkan persoalan. Oh manusia...tidak perlu menunjukkan kekuasaannya dengan cara seperti itu. Orang sudah tahu.

Belum lagi terjawab pertanyaan hatiku, esoknya, pagi-pagi sekali, ada berita dari tivi, terjadi bentrokan berdarah di Tanjung Priok Jakarta. Di atas permakaman pula. Ada yang tewas, lebih dari seratus korban terluka. Satpol PP melawan warga yang menolak penggusuran makam. Masya Allah...Tidak adakah cara yang lebih arif dalam menyelesaikan sesuatu. Aku selalu berandai-andai. Seandainya para pemimpin yang berkuasa memberi perintah mau bersikap arif... Andai para anggota satpol PP mau bersikap arif... Andai warga mau bersikap arif...tentu tidak akan terjadi peristiwa memalukan dan juga memilukan itu.

Tidak kah terlintas di pikiran ketika seorang petugas mengayunkan pentungan atau apa saja ke arah seorang warga yang kebetulan anak-anak, bahwa seandainya yang di depannya, yang siap menerima pentungan itu anaknya sendiri...masih tegakah?

Tidak kah berpikir, ketika seorang warga mengayunkan goloknya, dan yang di depannya ternyata kakaknya sendiri, atau bapaknya atau anaknya, masihkah akan diteruskan ayunan mematikannya itu? Duh Gusti... berilah penduduk negeri ini limpahan kasih sayang-Mu yang tak pernah berhenti...

Kalau saja petugas satpol PP itu mau berpikir sebentar saja ketika hendak membolduser makam dan sekitarnya, atau membolduser rumah-rumah penduduk yang belum jelas status hukumnya apakah benar atawa salah, seandainya istri, anak, menantu, orang tua, mertua ada di situ, tinggal di situ, mencari nafkah di situ, masih akankah melanjutkan tugas dengan kekerasan?

Tidak adakah cara lain yang lebih arif? Ah seandainya semua orang mau bertanya dulu kepada kata hati yang paling dalam sebelum bertindak....Ya Rabbi...ampuni kami...