Minggu, 27 Februari 2011

Sadar atau Tidak, Kita Telah Menikmati Ketidakberdayaan Kita

Terlalu banyak peristiwa mengenaskan terpampang di sekitar kita. Bagaikan sampah yang berserak pasca acara konser band di lapangan. Air mata tak mau lagi keluar dari kelopaknya, entah karena telah kering ataukah tidak ada lagi kepedulian. Atau mencoba menutupi kesedihannya dengan menyalahkan mereka sebagai kelompok pemalas. Atau mencoba bersabar, bahwa semua itu adalah cobaan yang memang bisa menimpa siapa saja.
Ada sayatan plus rasa nyeri setiap melewati jalan-jalan sempit sepulang kerja kantor. Hampir setiap hari saya melewati jalan itu. Setiap hari juga sayatan itu mengenai hati saya yang mungkin terlalu sensitif.

Anak-anak berwajah kuyu dengan pakaian lusuh meramaikan jalan sempit itu. Sambil mengendari motor dengan sangat pelan dan kehati-hatian, saya lirik kanan kiri. Rumah-rumah sempit tak berjendela berjejal sepanjang jalan. Anak-anak kecil satu-satu muncul dari pintu-pintu rumah tanpa teras itu.

“Masa kecil yang minim keceriaan,” batin saya.

Ya, terlalu banyak penderitaan yang dialami orang-orang sekitar kita. Terlalu banyak orang yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari kita. Lihatlah di tepi-tepi jalan, betapa banyak kaum tunawisma sebutan ‘halus’ dari gelandangan, hidup di beralaskan tanah beratapkan langit. Makan apa yang ada di depannya, meski dari bak-bak sampah. Lihatlah lagi, masih di tempat yang sama, anak-anak ‘tanpa masa depan’. Menyanyi sekenanya dengan peralatan seadanya sambil menengadahkan tangan berharap uang receh jatuh ke tangannya. Atau yang lebih ‘mendingan’ para ‘senior’nya dengan peralatan dan suara yang lebih layak. Membawakan lagu-lagu jalanan yang lebih banyak berisi kritikan kepada para penguasa yang tak peduli kepada rakyatnya.

Pada view yang lebih luas, terpampang banyak cerita penderitaan rakyat jelata di seantero nusantara. Seorang ibu tega membunuh anak-anaknya sebelum mengakhiri hidupnya karena tidak tahan kemiskinan yang menderanya. Seorang nenek terpaksa mencuri karena tak ada lagi yang bisa dimakan untuk mempertahankan hidupnya. Atau seorang ayah muda harus melakukan perbuatan dilarang oleh agama maupun pemerintah agar tetap bisa menyekolahkan anaknya, untuk sekedar membayar uang buku pelajaran.

Deretan cerita penderitaan rakyat tak berhenti sampai di situ saja. Mungkin persediaan kertas di kantor akan habis, pun di toko-toko kertas atau di super market-super market, untuk menuliskan deretan cerita unhappy dari negeri kaya raya tapi penuh derita ini. Sepasang suami istri tidak bisa lagi mengeluarkan air matanya, pun ungkapan kemarahnya. Tidak bisa lagi harus berbuat apa saat menggendong anaknya yang tengah sekarat dan butuh pertolongan, namun apa daya, niat mulianya menolong anaknya tidak bisa terlaksana. Pihak rumah sakit menolak merawatnya dengan alasan yang tidak bisa mereka mengerti. Lain lagi yang dialami rakyat jelata lainnya di tempat yang berbeda. Seorang ayah tega membiarkan anak-anaknya hidup tanpa masa depan yang lebih. Biaya pembelian buku, pakaian seragam dan lain-lain, menyebabkan ia tidak kuasa menyekolahkan anak-anaknya.

Di sisi lain, negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, cerita kehidupan segelintir orang yang bergelimang harta tak pernah berhenti menghiasi media. Televisi atau koran dan majalah. Yang lebih menyakitkan adalah kegelimangan harta itu didapat dari cara yang tidak halal alias korupsi, penggelapan, bermain curang dan sebangsanya.

Di sapanjang jalan yang saya lalui setiap hari, tidak sedikit cerita itu tertutur. Cerita menyayat hati, menggores luka yang semakin lama semakin dalam. Kondisi tak berbeda saat saya sesekali naik bis kota, metro mini atau kopaja, tidak menggunakan motor saya yang sudah mulai batuk-batuk kalau untuk berjalan cepat. Sekumpulan anak muda atau bahkan ada yang masih sangat muda, menyanyi dengan iringan alat sederhana atau hanya sekedar tepukan tangan. Setiap mau bepergian dengan menggunakan bis kota, saya selalu sediakan uang seribuan (lima ratusan sudah tidak dapat apa-apa di Jakarta) untuk mereka. Saya tidak sependapat dengan segelitir orang yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum pemalas. Mau enaknya saja.

Benarkah mereka pemalas, saya berpikir berkali-kali untuk bisa menerima ungkapan itu. Namun, tetap saja tidak bisa menemukan alasan untuk menerimanya. Keadaanlah yang membuat mereka seperti itu. Akan tetapi, apapun alasannya, kini mereka adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan. Membutuhkan belas kasihan, terlepas dari apa latar belakang sosial, politik, maupun pendidikan mereka.

Beberapa teman sepakat dengan apa yang saya ungkapkan. Bahwa mereka yang kesusahan, yang dengan terpaksa harus meminta-minta apapun modus operandinya, kalau ditanya, hati kecilnya pasti tidak menginginkan itu. Kalau ada pilihan, mereka akan memilih yang lainnya. Sekali lagi, pilihan itu tidak ada pada mereka. Hanya itu ide mereka.

Kemiskinan terstruktur, kata salah seorang temanku.

Kemikinan sistemik, kata yang lainnya.

Ya Allah, hamba mohon ampun atas ketidakberdayaan ini.
Kadang saya bertanya pada diri saya sendiri. Siapa seharusnya yang bertanggung jawab atas mereka? Saya, atau yang lainnya? Rasulullah saw pernah berpesan mengenai kepedulian terhadap tetangganya. Intinya agar tidak sampai terjadi pada diri kita bahwa jangan sampai ada tetangga yang tidak bisa tidur karena kelaparan, sementara kita sendiri tertidur nyenyak karena kekenyangan. Ya rabb, atas ini hamba memohon ampunan-Mu. Bukan hamba tidak mau, tetapi hamba tidak berdaya.

Ingin sekali saya membantu semua orang yang kesusahan, tapi apa daya. Ingin sekali saya mencukupi kebutuhan mereka tetapi tak satu pun yang bisa saya perbuat. Kadang muncul pertanyaan di dalam diri saya. Bukankah seharusnya ini adalah tugas pemerintah? Bukankah mereka seharusnya dicukupi oleh pemerintah, sesuai UUD 1945? Bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara?

Sungguh saya, dan mungkin juga teman-teman saya yang lain sangat tidak berdaya menghadapi penderitaan mereka.

Yang bisa diperbuat kini hanyalah, memejamkan mata rapat-rapat, menutup telinga kuat-kuat, membungkus hati dengan kain yang sangat tebal. Bukan apa-apa, hanya karena menginginkan ketanangan hidup, kenyamanan perasaan. Tanpa ‘gangguan’ mereka. Tanpa penderitaan mereka.

Untuk menghibur diri, hatinya memaksakan diri berkata,”Ah biarlah, mereka bukan tanggung jawab saya.” Atau ungkapan lain,”Tenang saja, mereka hanya pura-pura. Toh saya sudah pernah peduli dengan mereka.”

Yah. Akhirnya banyak orang merasa terbebas dari urusan penderitaan mereka. Akhirnya mereka merasa tidak mempunyai tanggung jawab atas penderitaan kaum papa tak berdaya. Orang-orang yang hidup tanpa rumah, tanpa kejelasan makan atau tidak, bahkan tanpa busana yang berbeda hari demi hari. Kita telah menikmati ketidakberdayaan kita.
Wallahu a'lam bishshawab