Kamis, 11 September 2008

Rindu Kita Pada Kepedulian

Seorang teman bercerita, ada seorang ayah yang sangat sayang terhadap anak bayinya, selepas sholat Isya pergi mencari susu formula buat buah hatinya. Pada waktu itu negeri ini tengah dilanda krisis hebat. Salah satu barang yang hilang dari peredaran adalah susu formula untuk bayi. Lama dia berkeliling mencari barang langka tersebut. Di deretan produk bayi tidak nampak lagi barang yang dicari. Belasan toko besar kecil sudah dia masuki namun hasilnya tetapa sama. Kosong. Kekhawatiran mulai menjalar ke relung hatinya. Terbayang si kecil sedang menangis meminta susu. Kelopak matanya mulai menghangat. Dilihatnya jam melingkar di tangan kanannya. Sudah malam, bisiknya kepada dirinya sendiri. Toko-toko kecil sudah mulai pada tutup. Dijalankan motornya perlahan-lahan sambil kepalanya tengok kanan tengok kiri. Siapa tahu ada toko yang masih buka dan ada barang yang dicarinya. Yap! Masih ada toko swalayan mini yang masih buka. Pengunjung sepi. Hanya ada satu orang yang tengah melakukan pembayaran di kasir. Dia masuk ke toko tersebut. Kakinya langsung membawanya ke deretan produk makanan bayi. Alhamdulillah. Ada! Hatinya sangat gembira. Masih ada dua bungkus susu formula ukuran 400 gram. tanpa pikir panjang, dia ambil dua-duanya. Biar cukup untuk persediaan manunggu keadaan kembali normal. Kalau tidak diambil dua-duanya, pasti nanti akan sulit lagi mencarinya. Gumamnya dalam hati.
Dengan hati yang senang, dipacunya kendaraan menuju rumah. Ingin segera dia tunjukkan bahwa dia adalah seorang ayah yang baik.
Sesampai di rumah dia ceritakan usaha pencarian susu formula yang dia dapatkan dengan sangat susah payah tersebut.
"Bang, di toko tadi masih ada berapa bungkus bang?" tanya istrinya beberapa saat setelah sang suami selesai menceritakan pengalamannya.
"Sudah tidak ada lagi dik, tinggal dua ini saja. makanya abang ambil semuanya," sang suami bicara penuh bangga.
"Astaghfirullahal 'adziim," istrinya tertunduk. Matanya sedikit basah oleh air mata yang tak tertahankan.
"Kenapa dik, itu kan rejeki kita, rejeki anak kita dik." Suaminya sedikit heran.
"Bank," lirih suara istrinya. Dia dekatkan posisi duduknya kepada tempat duduk suaminya. "Seandainya abang hanya mengambil satu saja, pasti ada satu orang bayi lagi malam ini bisa minum susu. Bisa jadi di belakang abang ada seorang ayah yang baik lainnya seperti abang yang tengah mencari susu untuk anaknya. Tapi karena abang sudah mengambil dua-duanya, maka ayah yang malang itu pulang dengan tangan hampa. Bayinya pun malam ini tidak minum susu. Pasti kasihan sekali dia bang."
"Astaghfirullah..." sang suami termenung. Ada guratan penyesalan di wajahnya.
"Terus bagaimana dik?" lanjutnya bingung.
"Coba kita kembalikan saja ke toko tadi bang."
"Tidak mungkin. Sudah tutup, tadi saja pelayannya sudah bersiap-siap menutup pintu. sekarang pasti sudah tutup."
"Yah... malam ini kita harus memperbanyak istighfar bang sebelum tidur kita. Karena kita telah kehilangan rasa kepedulian kita di saat-saat kritis seperti sekarang ini..."
...
Saya tertegun mendengar cerita itu. Yah..., dunia yang semakin sempit telah mengikis sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Perlahan namun pasti, kepedulian itu kian sirna. Lihat saja di jalan-jalan raya. Para pengendara saling berebut untuk mengambil jalan terlebih dahulu. Tidak peduli keselamatan pengendara orang lain.
Orang sepertinya tidak rela kehilangan waktunya beberapa detik untuk sekedar memberi kesempatan seorang nenek renta untuk menyeberang jalan. Jangankan memberi kesempatan orang lain memotong jalannya untuk menyeberang, lampu merah saja dengan sengaja banyak yang dilanggar.
Keadaan memang lagi sulit, tetapi tidak sepantasnya kita tidak peduli terhadap nasib orang lain. Untuk membangun kembali negeri ini, diperlukan orang-orang yang peduli kepada orang lain. Peduli kepada sesama, yang itu adalah sifat dasar manusia. Manusia adalah makhluk sosial. Homo homini lupus. kata seorang pakar.
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: